Apabila Galileo bertemu Allah
Analisis Farida Faouzia Charfi dalam artikelnya When Galileo Meets Allah mengejutkan saya.
Pertama wajah fundamentalisme Islam, yang ada hubungan dengan sains, rupa-rupanya mempunyai wajah yang sama di mana-mana saja.
Kedua unsur psikologis yang `menyembunyikan atau mengelak daripada sesuatu' atas sebab ketakutan menerima kenyataan di depan mata.
Ketiga, perkara kedua di atas memang telah saya terpikirkan, terutama selepas membaca Al Ghazali dan Ibn Rusyd. Pandangan mereka tentang kebenaran, kosmologi, ketuhanan, upaya akal (reason), dan lain-lain memang berbeza.
Untuk menjelaskan Ibn Rusyd, saya petik apa yang ditulis oleh Farida Faouzia:
"Nothing proves better divine wisdom than the order of the cosmos," Ibn Rochd wrote. "The order of the cosmos can be proved by reason. To deny causality is to deny divine wisdom, for causality is a necessary relation. The only function of reason is to discover causality and that which denies causality denies reason and does not grasp science and knowledge."
Epistemologi Ibn Rusyd, yang berasas kepada akal aktif dan akal pasif, meletakkan kedudukan tinggi pada akal dalam memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Menurut keyakinannya segala permasalahan harus boleh diselesaikan oleh akal, hatta dalam persoalan ketuhanan sekalipun.
Namum demikian Ibn Rusyd mengakui bahawa sumber kebenaran itu ada dua, yakni agama dan akal. Oleh itu agama dan akal atau agama dan falsafah itu boleh diketemukan. `Double-truth' Ibn Rusyd inilah yang dikutip dan dipegang oleh Barat dalam membangun tamadun mereka kini. Melalui sains mereka dapat memahami dan menguasai hukum alam ini dengan segala kepastiannya.
Ini agaknya yang menakutkan orang-orang Islam yang mempelajari sains. Kefahaman mereka mengenainya banyak berlandaskan teologi Al Ghazali.
Menjelaskan Al Ghazali Farida Faouzia menulis:
"For Ghazali the world is not eternal. God has existed without the world and then along with the world. His will is free and unbounded. God is the exclusive cause of everything in this world.
In "Self-destruction of Philosophy," Ghazali rejects all submission of nature to laws that would bind the will of God: "The cosmos is voluntary. It is the permanent creation of God and does not obey any norm....The first master is God and knowledge is transmitted by revelation in the first instance and then through the prophets..."
For Ghazali, the only knowledge there can be is that which stems from revelation: "...the principle of the natural sciences is to recognize that nature is in the service of the Omnipotent: It does not act of its own volition but is used in the service of its creator.
It is in this way that the sun, moon, stars and the elements are subject to the divine order: nothing in them allows them to act spontaneously.... Although unconnected to religion, mathematics are the basis of the other sciences. Therefore, he who studies them runs the risk of being infected by their vices. Few can deal with these calculations without succumbing to the danger of losing faith."
Pandangan Al Ghazali itu memang ketara dalam wacana para fundamentalis itu. Sukar untuk mereka mengakui bahawa manusia telah dapat memahami alam dengan begitu mendalam sedangkan mereka sentiasa percaya misteri alam ini hanya boleh dijelaskan oleh atau melalui al-Quran.
Selanjutnya Tuhanlah yang mengawal segala pergerakan alam dan percaya akan sifat autonomi alam ini adalah sesuatu yang tidak mungkin. Selama berabad-abad yang lalu pemikiran Al Ghazali inilah yang menjadi pegangan umat Islam.
Jadi seperti yang disimpulkan oleh Ibn Rusyd seperti di bawah ini, mereka bersembunyi di sebalik fundamentalisme, suatu sanctuary bagi mengelak kenyataan pahit itu.....
"The reason for their negation of natural causality arises from the fear of knowing the world to be born of a natural cause and yet, if they only knew that nature is created and that nothing better proves the existence of the Maker than the presence of this perfectly organized object..."
...... lalu mereduksi sains sekadar teknologi, suatu ruang yang tidak menimbulkan rasa sangsi dan menakutkan, berbanding sains yang akan sentiasa mempersoalkan pegangan mereka.
Tetapi sampai bilakah mereka akan merasa selamat di situ?
Pencapaian sains itu adalah projek modernisme. Malangnya itupun masih tidak kita fahami. Dengan datangnya pascamodernisme, tidak tahulah ke bawah kolong apa pula kita hendak berlari dan bersembunyi.
0 Ulasan. Terima kasih.
Post a Comment
Kembali ke Muka Utama